Postingan

Mama Bermain Bola? Lucu Kali, Ya?

Saat awal-awal Mama tinggal di Jogja untuk mengasuhmu, Mama masih merasa sulit mengatur waktu bermainmu. Mengajakmu tidur siang saja kadang butuh waktu hingga dua jam. Pulang sekolah Mama menawarimu makan siang atau minum susu. Kalau kamu milih makan siang dulu maka setelahnya minum susu, begitu juga sebaliknya, mimi susu dulu baru makan siang. Kamu kadang masih ingin main dengan tetanggamu Satya yang usianya dua tahun lebih muda darimu. Kadang kamu memilih menonton VCD di TV atau di laptop Mama. Masih sulit bagimu untuk langsung diajak bobo siang. Namun, bagaimana pun susahnya Mama berusaha mengajakmu bobo siang. Biasanya yang membuatmu bersemangat diajak boboan di kasur karena Mama mau membacakan cerita untukmu. “ Ngko wacakke cerita ya, Ma [1] ,” pintamu sebelum ke kamar tidur. Cerita yang kamu sukai waktu itu adalah komik dari majalah Wildan. Kebetulan kamu baru dibelikan bundel majalah Wildan sehingga bisa memilih cerita-cerita dari majalah tersebut. Meski kadang mi

Saat Kamu Curhat

“Mama, wajah Nimas bentol-bentol merah. Gede-gede, Mah,” begitu celotehmu saat Mama mengangkat telepon darimu. Mama hanya tersenyum begitu mendengar semua uneg-unegmu. Rupanya nyamuk menjadi penyebab masalah kulitmu, apalagi kulitmu sedikit sensitif. Gatal-gatal di bagian tangan dan kaki yang selama ini sering kamu alami saja sudah cukup membuat belang-belang hitam di kulit. Apalagi ditambah dengan gatal-gatal di wajah. “Udah pakai lotion obat gatal?” tanya Mama dengan menyebut merk tertentu. “Belum!” jawabmu. “Pakai obat lotion aja. Kayak pakai handbody , tapi di bagian wajah ngolesinnya tipis-tipis aja,” saran Mama. “jangan lupa, kalau mau bobo pakai lotion antinyamuk.” sambung Mama. Sepertinya hal ini menjadi masalah besar dan penting buatmu sampai dibela-belain telepon ke rumah. Lain hari kamu juga curhat masalah kutu. Yah, hal ini memang masalah klasik anak santri. Mama dulu waktu masih nyantri juga sempat kutuan, apalagi Mama tidurnya ngampar tikar bareng s

Makan Siang Bareng di Pesantren

Satu hal yang sering kita lakukan saat bertemu di pesantren adalah makan bertiga di bawah rindangnya pohon yang ada di taman pesantren. Mama sampai membawa sendiri tikar dari rumah agar kita lebih leluasa menikmati kebersamaan kita. Mama sengaja menyiapkan menu masakan yang kamu sukai, yaitu sayur asem dan ayam. Kadang ayamnya digoreng biasa, kadang dimasak dengan bumbu kecap. Meski dengan lauk sederhana tapi tetap terasa nikmat. Tujuan awal Mama membawa bekal makanan dari rumah sebenarnya agar lebih irit daripada beli di warung dekat pesantren. Apalagi keuangan keluarga kita saat itu boleh dibilang dalam posisi “harus mengencangkan ikat pinggang”. Namun, ternyata hal ini malah membawa efek dahsyat. Dalam suasana santai di bawah keteduhan pohon rindang ternyata mampu membuka sekat-sekat di hati sehingga keakraban di antara kita terjalin semakin intens. Dalam Susana santai ini obrolan pun lebih mudah terbuka. Awalnya kamu masih harus ditanya ini-itu, lama kelamaan kamu mulai bera

Lomba Lari

“Kok Dhimas bisa nurut sama Mbak?” tanya tetangga belakang rumah Mbok Tuwa saat melihat Mama dan kamu duduk-duduk di samping rumah Mbok Tuwo. “Ya, Alhamdulillah, jodoh kali, Bu,” kata Mama. “Biasanya kalau sama Budenya boro-boro mau nginap, lho Mbak,” cerita tetangga itu. “Paling-paling sampai di samping rumah trus minta pulang. Dibilangin dan dibujuk bagaimana pun nggak mau aja. Malah lari ke jalan depan sana sambil ngambek,” lanjut Ibu itu sambil menunjuk jalanan menurun di samping rumah Mbok Tuwa. “Lha kok, sama Mbak mau diajak nginep di rumah Simbok.” Mama hanya tersenyum. Di satu sisi Mama bahagia karena ternyata kamu bisa benar-benar merasa dekat dan nyaman dengan Mama sehingga di mana pun Mama berada kamu tetap mau tinggal, sekalipun di tempat yang sebelumnya nggak mau kamu tinggali. Yah, memang selama ini kamu mau nginep di rumah Simbok hanya kalau ada Ayahmu. Saat itu Mama dan kamu sedang menunggu dijemput Masmu Angg a untuk kembali ke rumah Budemu. Besok k

Akhirnya Mama Memilih Menjadi Fulltime Mom

Usai pelaksanaan akad nikah dan walimah tanggal 13 Februari 2011, Mama kembali ke Bandung dengan segala aktivitas seperti biasa. Mama mengajukan pengunduran diri dari kantor sebulan kemudian. Hal ini sesuai aturan kerja di kantor Mama bahwa pengunduran diri karyawan minimal diajukan sebulan sebelumnya. Alhamdulillah proses pengunduran diri ini berjalan lancar karena alasannya sulit diingkari, yaitu mendampingi suami. Bagi perempuan yang menikah dengan suami yang tinggal berbeda kota biasanya akan memilih tinggal di tempat suami. Begitu pula Mama. Apalagi gaji Mama nggak akan nutup untuk ongkos pulang-pergi Bandung-Bekasi seminggu sekali. Belum lagi harus membayar kontrakan dengan segala perabotannya. Setelah tinggal di Bekasi Mama masih sering mendapat order editan dari penerbit tempat kerja Mama dulu di Bandung. Untuk memudahkan pekerjaan Mama ini Ayah memasilitasi internet di rumah. Setidaknya Mama tidak harus keluar rumah untuk mengambil dan mengirimkan naskah via email . Apa

Salahkah Mama Mencintai dan Menyayangimu?

“Sejak kamu di sini, Dhimas sama sekali nggak mau deket lagi sama Mbakyunya, Hertin? Mbok kasih waktu buat Hertin deket lagi sama Dhimas,” kata Budemu seolah menyalahkan kedekatan Mama denganmu. Sejak ibu kandungmu meninggal, Bude Harti memang yang mengasuh kamu. Maklum, Ayahmu berangkat kerja pagi banget, apalagi perjalanan Ayahmu ke tempat kerja lumayan jauh, sekitar dua jam. Pulang kerja sampai di rumah isya. Tentu Ayahmu tidak punya waktu buat ngurus kamu selama ditinggal di rumah. Dengan sangat terpaksa Ayahmu menitipkan pengasuhanmu kepada Budemu meski sangat berat pula bagi Ayahmu untuk hidup berjauhan darimu. Tiga bulan setelah ibumu meninggal, Ayahmu menikahi perempuan bernama Indah, Mamamu ini. Sejak saat itu, Mama mulai masuk dalam kehidupanmu meski hanya sesekali datang mengunjungimu saat liburan bersama Ayah dan mbakmu Nimas. Dua kota yang saling berjauhan memisahkan kita. Kami terpaksa harus meretas rindu dalam gumpalan kasih sayang kepadamu. Sementara Mama har